Tak Bisa Sembarangan! Terdapat Syarat Khusus untuk Pengoperasian GeNose C19

Menciptakan alat skrining COVID-19 GeNose C19 bukanlah perihal yang mudah dan cepat. Mungkin kalimat itu hanya dapat sedikit menggambarkan realita yang harus dihadapi oleh para tim ahli lintas bidang ilmu Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah menghadirkan produk inovatif tersebut. Karena selain harus melewati berbagai proses panjang dalam risetnya, tim juga harus melewati rintangan yang memicu validasi pengecekan sampelnya dipandang tak valid. Kondisi inilah yang ternyata memunculkan prosedur standar atau syarat khusus dalam pengoperasian GeNose C19.
Terkait perjalanan riset hingga pengembangan yang memicu munculnya SOP GeNose C19 ini disampaikan oleh salah satu anggota tim ahli pengembang alat skrining COVID-19 dari UGM tersebut, yaitu dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, Sp.A, M.Sc., Phd. Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM itu menjelaskan, hadirnya GeNose C19 tak terlepas dari kondisi skrining COVID-19 pada masa awal pandemi yang masih terbilang lama hasilnya keluar (PCR membutuhkan waktu hampir seminggu) dan rapid test antibodi yang dirasa tak akurat.
Tak Bisa Sembarangan! Terdapat Syarat Khusus untuk Pengoperasian GeNose C1.jpg
Dari sinilah dr. Dian bersama tim pengembang GeNose C19 mengubah alat yang awalnya mereka kembangkan untuk mendeteksi Volatile Organic Compound atau VOC dari penelusuran penyakit TBC menjadi COVID-19. Dari sinilah perjalanan panjang pembentukan GeNose C19 dimulai. Setelah mendapatkan izin dari dewan kode etik, barulah tim ahli UGM tersebut memulai pengujian purwarupa dari GeNose C19. Namun pekerjaan rumah terbesar dari tim saat itu adalah bagaimana mengetahui VOC yang membedakan orang sehat dan positif COVID-19.
“Jadi pada saat itu yang pakai (sampelnya) pasien-pasien yang masuk ke rumah sakit yang dirawat di dua rumah sakit, waktu itu kami pakai Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID. (Sampel) yang pertama yang terkonfirmasi positif COVID berarti VOC orang COVID,†ujarnya dalam The Conversation Indonesia bertajuk Dampak Pandemi COVID-19 pada Riset Sains di Indonesia melalui Zoom (4/3/2021).
“Yang kedua pasien yang sakit non-COVID, pasien yang datang dengan keluhan sesak napas begitu dicek PCR-nya negatif maka kemudian didapatkan diagnosis lainnya seperti TBC, asma, PPOK itu juga kami cek VOC-nya karena kita harus membandingkan. Kemudian POC orang sehat tanpa gejala juga kita ambil,†sambungnya.
Dari sinilah karena masih tahap proof of concept maka puluhan sampel yang diambil berulang kali pun dikumpulkan guna mengevaluasi pembeda antara VOC dari nafas yang dihembus orang positif dan negatif COVID-19. Setelah proses pembuatannya setengah jalan ternyata terdapat desain dari GeNose C19 yang dipandang tak tepat sehingga secara teknis tak tepat untuk pengukuran VOC-nya sehingga tim pun melakukan mitigasi guna memastikan alatnya dapat mengambil alveoral breathing atau bernapas dengan normal. Oleh karena itulah menurut dr. Dian, tim memutuskan menggunakan kantung khusus untuk mengumpulkan VOC yang dihembuskan oleh pasien. Barulah dari sini tim mulai melakukan validasi dengan ratusan sampel.
Namun rintangan masih harus dihadapi oleh para tim ahli lintas bidang ilmu, karena ternyata GeNose C19 harus berada di lingkungan atau kondisi yang tepat agar kecerdasan buatan (A.I) yang ada di alat skrining ini bekerja optimal. Dari sinilah tim dapat merancang prosedur standar untuk melatih hingga menguji para operator GeNose C19 agar alat itu bisa berfungsi secara optimal. Dari mulai mengenai posisi dan kondisi lingkungan dari GeNose C19 yang diletakan di suatu fasilitas dengan GeNose C19 yang akan memberikan indikator bahwa alat ini sudah ditempatkan yang sudah tepat dan siap menguji sampel
sumber : https://pingpoint.co.id/berita/tak-bisa-sembarangan-terdapat-syarat-khusus-untuk-pengoperasian-genose-c19/